CSR Lingkungan Indonesia

Abdullah Sanusi

Berharap (banyak) pada CSR

Oleh: Abdullah Sanusi
IFP Ford Foundation Cohort IV
Mahasiswa Birmingham Business School, University of Birmingham

Jika selama ini perdebatan mengenai Coporate social responsibility (CSR) lebih menyentuh persoalan paradigma dan definisi, maka kini yang berkembang adalah sejauh mana CSR dan dunia bisnis pada khususnya mampu berkontribusi dalam pembangunan. Selain itu, perdebatan mengenai perlu tidaknya CSR dilembagakan dan sejauh mana campur tangan pemerintah dalam pelaksanaan CSR juga menjadi perhatian tidak saja bagi akademisi namun juga praktisi bisnis serta NGOs.

Di Indonesia sendiri, perdebatan mengenai hal ini belumlah surut. Hal ini ditambah lagi ketika pemerintah menelurkan UU Perseroan Terbatas (PT) tahun 2007, yang bagi sebagian kalangan dilihat sebagai sebuah keputusan yang kontroversial. Keputusan ini dinilai makin menunjukkan minimnya pemahaman negara terhadap CSR dan juga masih sulitnya untuk membumikan CSR dalam konteks ke-Indonesiaan.

CSR sebagai jawaban

Jika dilihat sejarahnya, corporate social responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan, dalam pengertian paling minimum dapat dianggap sebagai jawaban kaum bisnis atas keraguan banyak pihak atas peran sosial mereka. Ini juga sebagai reaksi dari makin kritisnya masyarakat akibat tindakan buruk beberapa perusahaan besar seperti Enron dan Worldcom. Maka CSR ini datang sebagai penawar kecam dan curiga. Di Indonesia sendiri, CSR mulai berkembang seiring makin meningkatnya perhatian masyarakat global terhadap perkembangan perusahaan-perusahaan trans- nasional yang beroperasi disini.

Dalam pandangan Leisinger (2007), secara garis besar, kita bisa membagi konteks CSR ini dalam dua level besar. Yang pertama adalah do no harm, yang merupakan level minimum dari aplikasi CSR. Menurutnya, perusahaan pada level ini masih dalam konteks meminimalkan dampak negatif dari kegiatan operasionalnya.

Masalahnya, dengan kompleksitas persoalan sosial yang ada serta makin meningkatnya kesadaran dan tingginya harapan masyarakat, perusahaan tentu saja tak bisa lagi bertahan dengan prinsip sekedar tidak berbuat negatif. Maka diharapkanlah perusahaan untuk mencapai level kedua, yaitu do the right thing. Pada level ini, perusahaan tak hanya meminimalisir dampak negatif dari kegiatan operasionalnya berdasar aturan yang ada (legality), tapi juga sudah menaruh perhatian pada pemenuhan hak-hak sosial masyarakat yang patut secara politik dan ekonomi (legitimacy). Perusahaan pun sudah makin meningkatkan kegiatan-kegiatan derma (philanthropy) mereka.

Perkembangan CSR di Indonesia

Jika awalnya hanya perusahaan-perusahaan ekstraktif yang banyak mensosialisasikan kegiatan sosial mereka, maka kini hampir seluruh perusahaan dengan beragam industri yang seperti berlomba untuk mencitrakan positif diri mereka. Bisa dikatakan, hampir setiap hari di media kita melihat bagaimana dunia bisnis mewartakan kegiatan sosial mereka.

Penetapan kode etik perusahaan pun makin marak kita dengar. Sebagai sebuah standar internal, kode etik diharapkan mampu mengawal dunia bisnis berada di jalur yang benar. Kode etik kemudian menjadi standar umum, meski implementasi dan implikasinya dalam ber-bisnis masih banyak dipertanyakan.

Tak ketinggalan pula kita saksikan makin banyaknya perusahaan membangun aliansi dengan lembaga lainnya, terutama dengan ornop dalam pelaksanaan program- program CSR mereka. alternatif lainnya adalah dengan membuat yayasan yang mendapatkan budget khusus serta terpisah dari manajemen inti perusahaan.

Pemerintah pun seperti tak ingin ketinggalan. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, melalui UU PT tahun 2007, tepatnya di pada pasal 74, pemerintah mewajibkan perusahaan yang bergerak dalam bidang ekstraktif untuk melaksanakan CSR. Sanksi bagi mereka yang tidak melaksanakan akan dikenakan, meski pengaturan lebih lanjut akan hal ini masih menunggu tuntasnya PP sebagai pelengkap UU tersebut.

Tanggapan terhadap UU PT ini umumnya melihat bahwa penyusunan UU PT yang mengatur tentang CSR ini dilakukan tanpa melalui konsultasi public yang optimal. Selain itu, dasar pemikiran dari UU tersebut sama sekali tak menyentuh beragamnya penafsiran yang muncul dalam ranah akademik dan praktisi mengenai CSR. Hal lain yang merisaukan adalah bahwa UU PT ini hanya melihat stakeholder atau pemangku kepentingan dengan terbatas, dalam hal ini hanya meliputi masyarakat local dan lingkungan. Adapun konsumen, pekerja dan buruh tidak menjadi perhatian serius dalam menjalankan CSR.

Terlepas dari kritik dan beragam tanggapan terhadap inisiatif pemerintah untuk meregulasi CSR ini, kondisi di atas patut disyukuri, namun sedikit mengkhawatirkan pada lain sisi. Pertama karena kondisi ini menunjukkan makin meningkatnya kesadaran dunia bisnis, pemerintah dan juga media akan CSR yang tidak saja bisa memberi dampak positif kepada perusahaan namun juga kepada masyarakat. Kedua, CSR sebagai sebuah model yang muncul dan berkembang dari negara maju perlu untuk diterjemahkan dalam konteks Indonesia. Selain itu, sosialisasi dan edukasi mengenai CSR perlu terus diupayakan, salah satunya melalui sekolah-sekolah ekonomi dan bisnis yang ada di perguruan tinggi.

Sosialisasi mengenai CSR kepada masyarakat menjadi penting, sehingga menjadi pemicu bagi munculnya kontribusi aktif dari masyarakat sebagai bagian dari stakeholder. Sebab selama ini tak bisa dipungkiri bahwa ada kesenjangan pengetahuan mengenai CSR antara perusahaan dengan pemangku kepentingannya seperti NGO dan masyarakat. Dengan sosialisai dan edukasi ini, kemampuan masyarakat untuk menakar komitmen pelaksanaan CSR dari perusahaan akan semakin meningkat. Salah satu caranya adalah dengan memperkuat segitiga peran, pemerintah, dunia bisnis dan masyarakat untuk mencapai hasil yang optimal.

Selain itu, pemerintah diharapkan pula untuk memikirkan program-program non-regulatori yang mendorong terbangunnya iklim kondusif bagi CSR seperti koordinasi pelaksanaan CSR antar perusahaan, membiayai penelitian-penelitian CSR serta meningkatkan profil CSR dan mempromosikannya ke bidang-bidang usaha lainnya dan juga kepada kelompok usaha kecil menengah.

Bagi dunia bisnis sendiri, tantangan berat bukannya tidak ada. Hal mendasar yang perlu dilakukan adalah bagaimana menumbuh-suburkan semangat CSR di dalam lingkungan perusahaan. Untuk itu dibutuhkan komunikasi internal yang lebih baik dibarengi dengan upaya pelaporan yang transparan dan akuntabel.

Standarisasi dan pengukuran kinerja CSR perlu juga menjadi perhatian bersama dunia usaha. Salah satunya bisa dicapai melalui pelaporan kinerja CSR perusahaan. Tak seperti pewajiban CSR pada UU PT yang masih menunggu peraturan pemerintah yang memberi detail teknisnya, kewajiban perusahaan untuk melaporkan aspek social dan lingkungan adalah hal mutlak seiring berlakunya UU tersebut.

Satu hal yang perlu menjadi perhatian dunia bisnis adalah bahwa CSR tak semata community development (CD). CD hanyalah bagian kecil dari CSR yang target akhirnya adalah pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian, perhatian terhadap karyawan dan tenaga kerja sebagai bagian dari stakeholder haruslah terus ditumbuhkan.

Belum Tuntas

Sebagai sebuah konsep bisnis, CSR memang belum begitu membumi. Belum lagi kajian akademis akan hal ini, khususnya di Indonesia belumlah cukup untuk membuatnya lebih dari sekedar trend. Tantangan bagi dunia akademik untuk terus mencari format CSR yang pas bagi Indonesia. Syaratnya sebagai yang telah disampaikan di awal tulisan adalah partisipasi aktif seluruh komponen.

Tanpa partisipasi aktif pemerintah, dunia usaha dan organisasi civil society lainnya, tujuan CSR yang mulia akan sulit tercapai. Untuk itu, pengembangan konsep ini harus terus digalakkan, salah satunya dengan memperluas cakupan CSR tak sekedar soal lingkungan dan program-program philantrophik semata.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.