CSR Lingkungan Indonesia

Zacky Nouval F

GCG, CSR dan Religiusitas Dalam Dunia Usaha

Oleh: Zacky Nouval F

Sumber: http://zacky-nouval.blogspot.com/

Good Corporate Governance (GCG) adalah “mantra” yang sering diucapkan, diulas, dan diseminarkan oleh dunia usaha di Indonesia dekade ini. Tetapi apa sesungguhnya GCG itu, atau apa kaitannya dengan buruknya kondisi dunia usaha di Indonesia, sehingga “mantra” ini perlu di ulas, diseminarkan, meskipun masih tanda tanya besar dalam penerapannya.

GCG sebenarnya adalah sebuah alat untuk menjalankan roda perusahaan berdasarkan prinsip-prinsip untuk menghasilkan perusahaan yang unggul. Prinsip yang dimaksud dalam GCG secara umum ada empat yakni, fairness (kewajaran), transparency (keterbukaan), accountability (pertanggungjawaban), dan responsibility (tanggung jawab).

Dalam perusahaan modern prinsip GCG menjadi sebuah kenicayaan, namun dalam prakteknya masih stockholder oriented, yakni masih berorientasi pada pemegang saham. Prinsip fairness atau kewajaran misalnya, mensyaratkan bagi perusahaan untuk berlaku wajar dan adil kepada semua pemegang saham entah besar atau kecil. Perlakuan yang sama dan adil pada semua pemegang saham ini sebenarnya sesuatu hal yang wajar mengingat manajemen diangkat oleh pemegang saham, artinya apa yang dilakukan oleh manajemen tidak lebih dari rutinitas kewajiban semata. Prinsip transparency dan accountability yang dilakukan pun demikian masih stockholder oriented karena lebih ditekankan pada penyajian laporan keuangan yang akurat dan tepat waktu dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Yang agak berbeda dalam pemaknaan dan prakteknya adalah prinsip yang keempat yakni responsibility. Berbeda karena penekanannya tidak hanya berorientasi pada stockholder (pemegang saham) semata, namun juga kepada stakeholder dalam arti luas. Disini perusahaan diharuskan memperhatikan kepentingan stakeholder, dan menciptakan hubungan yang berkesinambungan. Termasuk didalammnya dengan dengan karyawan, konsumen, pemasok, masyarakat, dan lingkungan.

Konsekuensi dari prinsip responsibility ini menyebabkan GCG tidak hanya peduli pada kepentingan individu (dalam hal ini pemegang saham), tetapi juga pihak-pihak lainnya. Artinya ada keseimbangan antara tujuan bisnis dan tujuan sosial sebuah perusahaan. Dalam perjalanannya prinsip responsibility ini berkembang pesat dan menciptakan sebuah konsep baru yang dinamakan Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan.

Corporate Social Responsibility memandang bahwa perusahaan sebagai bagaian dari masyarakat tidak bisa berdiri dan melangsungkan usahanya sendiri tanpa keterlibatan masyarakat. Dalam hal ini perusahaan tidak bisa semata-mata bertujuan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya seperti doktrin kapitalis, namun juga harus melaksanakan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat. Namun, sayangnya tanggung jawab sosial ini oleh perusahaan masih dimaknai sebagai sebuah strategi untuk semakin menancapkan kuku-kuku kapitalisnya. Jadi tanggung jawab sosial tidak ubahnya sebagai bentuk biaya (cost) yang dikeluarkan oleh perusahaan, dan untuk itu perusahaan harus dapat mengembalikan biaya (cost) tersebut dalam bentuk mendapatkan legitimasi masyarakat dalam menjalankan dan demi kesinambungan usaha.

Kasus-kasus semacam ini banyak terjadi pada perusahaaan tambang atau perusahaan yang memiliki potensi besar mengancam keramahan lingkungan. CSR digunakan sebagai pemulus jalannya kegiatan usaha, sehingga masyarakat cenderung diam dan menganggap perusahaaan akan membawa dampak positif bagi masyarakat sekitar, tapi kenyataannya tidak. Hal ini bisa kita lihat pada kasus Lapindo Brantas yang justru membawa lumpur, Malang Town Square (Matos) yang membawa banjir, Petrokimia Gresik dan Tjiwi Kimia yang sering meledak.

Paradigma baru dalam pelaksanaan CSR mutlak diperlukan, sehingga tanggung jawab sosial yang diemban perusahaan benar-benar dimaknai sebagai sebuah kewajiban yang harus ditunaikan. Bukan sebagai sebuah ritual keterpaksaan karena adanya peraturan misalnnya atau motif lainnya, tapi sebagai sebuah kesadaran yang timbul dari dalam perusahaan (internal driven) sebagai bentuk perwujudan rasa berkeagamaan.

Kenapa perwujudan rasa berkeagamaan, tidak lain karena agama menghendaki adanya distribusi kekayaan antara yang berlebih dengan yang kekurangan, antara yang kaya kepada yang miskin. Dan CSR adalah alat untuk mendistribusikan kekayaan tersebut. Yang perlu digaris bawahi agar CSR yang dimaksud menjadi perwujudan religiusitas dalam menjalankan usaha adalah pendefinisian apa dan siapa yang akan dituju (sasaran) dalam pelaksanaan CSR ini. Ada tiga sasaran (yang dituju) CSR yakni, manusia, alam, dan Tuhan.

Sasaran pertama adalah manusia. Dalam hal ini manusia dibedakan menjadi dua kelompok, pertama manuia sebagai pihak yang berada di lingkungan sekitar tempat usaha, mereka ini berhak untuk mendapat distribusi kekayaan karena bagaimanapun pihak ini cukup banyak merasakan dampak positif dan negatif keberadaan perusahaan. Sedangkan pihak kedua adalah pihak yang sama sekali tidak punya kaitan dengan perusahaan, baik itu kaitan wilayah maupun kaitan lainnya, dan ini sebagai bentuk tazkiyah (penyucian) kekayaan yang bertujuan pada optimasi kesejahteraan manusia.

Sasaran kedua adalah alam. Alam adalah pihak yang memberikan kontribusi bagi mati-hidupnya perusahaan. Karena secara fisik eksistensi perusahaan didirikan diatas bumi, menggunakan sumber daya alam baik itu sebagai bahan baku atau sumber energi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Distribusi kesejahteraan yang dikehendaki alam tentu akan berbeda dengan manusia yang cenderung dalam bentuk materi, alam menginginkan perusahaan agar lebih peduli terhadap kelestarian alam, menghindari pencemaran, dan pemborosan dalam penggunaaan sumber daya alam.

Sasaran ketiga, sekaligus yang terpenting adalah Tuhan. Dengan menempatkan Tuhan pada posisi tertinggi, maka perusahaan akan berpikiran jauh ke depan dengan menjalankan usaha berlandaskan atas ketentuan-ketentuan, aturan-aturan, dan hukum-hukum Tuhan. Dengan demikian tujuan usaha (bisnis) adalah untuk mendapatkan ridha Tuhan.

Kalau ketiga sasaran ini dicapai, maka dunia usaha tidak akan berdiri sendiri, tetapi memiliki keterkaitan, bahkan memerankan fungsi sosial yang sangat penting dalam kehidupan. Kemiskinan yang membelit masyarakat Jawa Timur sebanyak 7,13 juta orang atau 18,93 persen pada bulan maret 2007 dari total penduduk sebesar 37,65 juta orang tentu akan berkurang, karena dunia usaha tidak meninggalkan tanggung jawab sosialnya.

Kerusakan lingkungan seperti semakin luasnya lahan kritis, alih fungsi ruang terbuka hijau serta rusaknya ekosistem mangrove di Jatim yang sampai tahun 2004 sudah seluas 16.366 ha dapat diminimalkan. Sebab perusahaan sadar akan ketergantungannya terhadap alam sebagai sumber bahan baku dan energi serta dampak kemurkaan alam yang luar biasa.

Serta eksplorasi sumber daya alam secara ceroboh seperti kasus lumpur lapindo dan ekspolaris besar-besaran pada blok cepu, Bojonegoro oleh exon dapat dihindarkan, karena pengusaha sadar kekayaan alam bukan untuk saat ini saja tetapi juga untuk masa depan dan kearifan lokal dalam eksplorasi seperti petani minyak (penyulingan minyak tradisional) masih dapat diandalkan. Dan akhirnya kesejahteraan masyarakat pun akan meningkat. Wallahu A’lam Bish-showab.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.