CSR Lingkungan Indonesia

Fitrian Ardiansyah

CSR dan Standard Audit Sosial: perspektif lingkungan

Oleh Fitrian Ardiansyah
13 Juni 2008

Sumber: http://www.csrreview-online.com/

Kaitan bisnis dan lingkungan Keterkaitan antara sektor bisnis dan lingkungan bisa dikatakan dimulai sejak lebih dari dua dekade yang lalu. Berbagai kegiatan serta kampanye mengenai permasalahan lingkungan (keanekaragaman hayati, perubahan iklim, pembangunan berkelanjutan, dll.) yang diadakan dari tahun 1969 sampai dengan 1992, telah meningkatkan gaung akan isu lingkungan di tingkat internasional dan nasional yang pada gilirannya menyebabkan sektor bisnis atau swasta bereaksi.

Pembentukan US Environmental Protection Agency (US-EPA) di tahun 1970 dan penyelenggaraan United Nations Stockholm Conference on Human Development (UNSCHD) di tahun 1972, sebagai contoh, telah menandai era lingkungan modern. Hal ini, yang kemudian diikuti oleh serangkaian kegiatan lingkungan (United Nations Conference of Environment and Development atau UNCED, World Summit on Sustainable Development atau WSSD, dll.) dan pembentukan badan lingkungan lainnya (United Nations Environment Program atau UNEP, dll.) di tingkat internasional dan nasional, menambah magnifikasi isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan di banyak kalangan. Saat ini terdapat lebih dari 200 kesepakatan multilateral dan bilateral yang menjadi payung agenda lingkungan dunia – dengan fokus antara lain pada pengelolaan sumberdaya alam, pengawasan pencemaran, pengelolaan limbah dan jasa produk.

Dekade tahun 1970 dan 1980-an juga ditandai oleh berbagai rangkaian kejadian “bencana lingkungan” seperti Seveso (1976), Three Mile Island (1979), Bhopal (1986), Chernobyl (1986) dan tumpahan minyak Exxon Valdez (1989). Di Indonesia, beberapa kejadian yang berkaitan dengan permasalahan dan bencana lingkungan juga tercatat seperti Waduk Kedung Ombo (1988-89), Indorayon (akhir 1980), dan Kali Tapak (1991). Semua kejadian ini membentuk “persepsi” dari banyak kalangan bahwa sektor bisnis dan industri berperan – langsung atau tidak langsung – terhadap terjadinya permasalahan lingkungan dunia dan nasional.

Persepsi semacam ini berkembang di masyarakat luas dan politisi terutama di Eropa dan Amerika yang menganggap sektor bisnis dan industri tidak mempunyai sistem dan manajemen yang “layak” dalam mengelola sumberdaya alam, melakukan operasi perusahaan dan mengelola limbahnya. Dengan kata lain, di era tersebut sektor bisnis dan industri seringkali tersudutkan dengan cap atau terminologi yang dikenal sebagai “pollute, grow and clean up later”. Persepsi ini di banyak tempat kemudian bertransformasi menjadi tekanan dan tuntutan (terutama dari lembaga non pemerintah atau NGO dan konsumen) akan perubahan perilaku dan kinerja suatu perusahaan ke arah yang lebih bertanggung jawab.

Dengan bertubi-tubinya tekanan dialamatkan ke sektor swasta dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam, sektor ini yang dimotori oleh perusahaan berskala besar dan trans-national corporations/ TNCs secara perlahan mulai mencoba mengubah kebijakan dan “sebagian” perilaku perusahaannya ke arah yang lebih lestari dan bertanggung jawab (berkelanjutan atau sustainable). Tekanan dari masyarakat terutama konsumen/pengguna produk dari sektor bisnis dan industri telah mengubah pandangan sektor ini dari sekedar melihat aspek lingkungan sebagai bottom line cost menjadi sebuah kesempatan “komersial” untuk “berubah” dan merebut kembali hati masyarakat (terutama dalam membangun citra) dengan mengakomodasi aspek lingkungan sebagai konsideran penting kebijakan dan perilaku perusahaan.

Pergerakan sektor swasta untuk lebih bertanggung jawab (termasuk dalam pengelolaan aspek lingkungan) yang tertuang dalam kebijakan maupun perilaku suatu perusahaan inilah yang sering dikenal sebagai Corporate Social Responsibility (CSR). Boleh dikata, CSR berkembang dan diadopsi oleh banyak perusahaan karena dua faktor penting, yaitu: ketergantungan perusahaan kepada pasar dan konsumennya (terutama di Eropa, Amerika Utara, Jepang dan kemudian mulai berkembang di negara lain – dalam rangka penjagaan citra penjagaan lingkungan) dan meningkatnya kerapuhan perusahaan (karena meningkatnya faktor resiko termasuk resiko lingkungan/liability, dsb.).

Mandatory atau voluntary?

Untuk menekan timbulnya dampak negatif lingkungan dan mendapatkan produk yang dihasilkan dari operasi perusahaan yang menimbulkan dampak positif, banyak inisiatif yang baik telah dilakukan termasuk seperti melalui tekanan konsumen, lewat skema pelabelan lingkungan dan sosial yang independen, telah relatif berhasil menggunakan mekanisme pasar secara lebih positif. Internalisasi eksternalitas dari dampak lingkungan melalui berbagai pendekatan ekonomi juga cukup berhasil yang ditunjukkan di berbagai kasus terutama yang terkait dengan pajak atas zat/limbah beracun dan berbahaya.

WWF dan berbagai organisasi lingkungan mempunyai pengalaman yang relatif luas akan manfaat dan potensi yang didapatkan dari inisiatif voluntary tangan pertama, terutama melalui kemitraan dengan sektor-sektor industri kunci termasuk dalam hal dibentuknya the Marine Stewardship Council/MSC (penerapan standard lingkungan sektor kelautan) dan the Forest Stewardship Council /FSC (penerapan standard lingkungan sektor kehutanan), Climate Savers (penerapan standard lingkungan sektor energi dan yang berhubungan dengan aspek perubahan iklim), Equator Principle (penerapan standard lingkungan oleh bank dan lembaga keuangan internasional) dan banyak kemitraan lainnya.

Walaupun begitu, dari berbagai pengalaman WWF terutama dalam konteks kerja untuk menjawab kekhawatiran global seperti dalam isu perikanan, kehutanan, perubahan iklim, penanganan zat beracun dan berbahaya, sumberdaya air dan spesies, terlihat sangat jelas bahwasanya inisiatif voluntary yang ada tidaklah cukup.

Sebagai contoh dalam penerapan inisiatif voluntary di sektor kehutanan, keterlibatan perusahaan pembeli yang menginginkan produk kayu yang legal dan diperoleh dari hutan yang dikelola secara lestari (ditandai dengan sertifkasi dari lembaga yang terpercaya) sedikit banyak membantu mendorong perusahaan penghasil produk hutan untuk berubah secara bertahap kearah yang lebih baik. Mekanisme ini dilalui dengan masuknya perusahaan ke dalam proses skema GFTN (Global Forest and Trade Network melalui Buyers Groups dan Producers Groups – di Indonesia dinamakan “Nusa Hijau”) untuk mendapatkan sertifkat produk hutan yang terpercaya (semisal FSC).

Contoh lainnya diperlihatkan oleh MIGROS (retailer terbesar di Swiss) dan beberapa pembeli produk olahan minyak sawit di sektor perkebunan (kelapa sawit). Dengan kekhawatiran akan dampak ekspansi perkebunan kelapa sawit yang ditengarai menyebabkan deforestasi, MIGROS meminta bantuan WWF-Switzerland mengembangkan standard produksi dan permintaan akan sustainable palm oil. Inisiatif ini di kemudian hari menjadi salah satu pondasi terbentuknya forum dialog antara pelaku bisnis sawit dan NGO dalam wadah Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) . Atas inisiatif ini, MIGROS mendapatkan penghargaan di UN World Environment Summit di Johannesburg pada tahun 2002.

Hanya saja, walau inisiatif voluntary di kedua sektor tersebut menampakkan hasil, fakta menunjukkan bahwa sampai saat ini di sektor kehutanan di Indonesia, laju kerusakan hutan per tahunnya masih mencapai angka 3,8 juta hektar (atau seluas 13 lapangan bola per menitnya). Dari berbagai kajian NGO maupun lembaga penelitian yang terpercaya, hal ini disebabkan antara lain oleh pembalakan haram dan destruktif (baik yang dilakukan oleh perusahaan HPH/hak pengusahaan hutan, Kopermas mapun masyarakat), dan konversi hutan ke pertambangan, perkebunan, HTI (hutan tanaman industri) dan permukiman.

Pengalaman WWF-Indonesia yang cukup alot untuk mencoba mempengaruhi dan mendesak perubahan perilaku industri pulp dan perkebunan sawit, untuk menghormati dan tidak mengkonversi kawasan hutan yang bernilai konservasi tinggi (high conservation value forests/HCVF), menunjukkan bahwa perusahaan masih seringkali lebih mempunyai posisi tawar yang lebih tinggi terhadap inisiatif voluntary yang ada.

Ada hal lain yang cukup memprihatinkan adalah terdapatnya perilaku free rider (karena imperfect market) di antara beberapa perusahaan seperti yang ditemukan oleh Friends of the Earth UK. Karenanya pada awal tahun ini FoE-UK mendesak Pemerintah Inggris untuk mengeluarkan kebijakan untuk mengatur pasar terutama melalui the Performance of Companies and Government Departments (Reporting) Bill. Desakan FoE-UK ini didasarkan pada kenyataan bahwa klaim-klaim yang dibuat perusahaan-perusahaan tersebut (dalam mekanisme voluntary) sangat sulit dibuktikan bila transparansi melalui pelaporan yang dilakukan pihak bisnis dan industri tidak diatur dan dilakukan secara tepat. Bila tidak dapat diverifikasi, klaim-klaim dari perusahaan tersebut hanya akan menambah keuntungan citra perusahaan tanpa ada kaitannya dengan upaya perbaikan lingkungan di lapangan.

Karenanya, walau insiatif voluntary menghasilkan standard lingkungan yang relatif tinggi, namun inisiatif ini perlu dilengkapi dengan inisiatif mandatory yang setidaknya dapat memaksa semua perusahaan (across the board) untuk memenuhi kewajiban minimal (dalam ambang batas yang diatur secara legal) tunduk mengelola lingkungan secara baik dalam operasinya. Selain itu, WWF yakin pendekatan tambahan yang lebih komprehensif yang mendukung pembangunan berkelanjutan sangatlah diperlukan, termasuk diantaranya:

  1. Diperlukan legally binding global rules (Corporate Accountability, CA), terutama yang berhubungan dengan perusahaan TNCs, untuk memastikan minimum acceptable levels dari tanggung jawab perilaku dan praktek-praktek perusahaan di setiap negara tempat perusahaan tersebut beroperasi. Untuk perusahaan yang bergerak secara transnasional, skema “voluntary initiatives” terbukti tidak cukup untuk keperluan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.
  2. Diperlukan insentif/dukungan bagi proactive front runners (perusahaan yang progresif) yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan dalam strategi dan perilaku bisnisnya (genuine CSR). Di pihak lain diperlukan kampanye yang konsisten untuk menyoroti perusahaan yang berperilaku negatif dalam hal menimbulkan dampak lingkungan. Di poin 2 inilah kerjasama antara berbagai komponen NGO/masyarakat madani yang mempunyai pendekatan berbeda diperlukan.

Standard audit lingkungan: prinsip-prinsip penting

Terlepas dari inisiatif yang dipilih (voluntary atau mandatory maupun gabungan dari keduanya), ada beberapa prinsip-prinsip penting yang diperlukan untuk melihat apakah suatu perusahaan bisa dikategorikan sebagai perusahaan yang telah menerapkan prinsip kelestarian. Prinsip-prinsip ini seringkali muncul dalam berbagai standard ataupun kebijakan lingkungan yang telah diterapkan di tingkat internasional dan nasional diantaranya dalam standard FSC, MSC, RSPO, Equator Principles, Dutch Banks’ Environmental and Social Risks Policy dan juga bank-bank yang lain seperti HSBC, Citigroup, dll.

Prinsip-prinsip penting yang seringkali diangkat untuk menganalisis kinerja perusahaan dalam menjaga dan mengelola lingkungannya (terutama di sektor kehutanan, perkebunan, dan industri) antara lain:

  1. Mematuhi undang undang dan peraturan-peraturan nasional maupun internasional yang telah diratifikasi.
  2. Melakukan analisis terhadap rencana pengembangan/ pembangunan suatu sektor secara komprehensif (melingkupi baseline environmental and social conditions).
  3. Pembukaan lahan tidak mengorbankan kawasan yang ekosensitif (terutama hutan primer dan kawasan hutan bernilai konservasi tinggi/HCVF ), keanekaragaman hayati (terutama spesies terancam dan dilindungi), dan dengan metode tanpa bakar (zero burning policy).
  4. Mengimplementasikan prinsip pembangunan berkelanjutan terutama dengan menggunakan sumberdaya alam yang terbaharukan.
  5. Menjaga kesehatan manusia dari dampak pembangunan/operasi perusahaan terutama dari penggunaan zat-zat beracun dan berbahaya.
  6. Meminimalisasi dampak negatif sosial-ekonomi bagi masyarakat setempat.
  7. Meminimalisasi dampak dari penguasaan lahan terutama seperti penggusuran paksa, penghilangan hak-hak masyarakat adat.
  8. Melihat dampak kumulatif dari operasi yang sedang berjalan dan rencana pengembangan di masa depan
  9. Partisipasi dari pihak yang terkena dampak dalam perencanaan, review dan implementasi dari operasi yang diusulkan
  10. Mempertimbangkan alternatif pembangunan yang ramah lingkungan dan sosial
  11. Melakukan efisiensi dalam produksi dan penggunaan energi
  12. Pencegahan dan pengawasan polusi dan minimalisasi limbah termasuk limbah padat dan beracun dan berbahaya

Dari prinsip-prinsip tersebut, beberapa organisasi (FSC, MSC, RSPO, dll) serta pihak swasta (bank-bank, lembaga pinjaman, pihak pembeli, dll) kemudian mengembangkan panduan (guidance) dan daftar periksa (check lists) sebagai dasar untuk mengaudit kinerja pihak produsen, industri dan pelaku usaha yang lain (lihat box 1 sebagai contoh).

Metode verifikasi yang tepat

Setelah mengakomodasi prinsip-prinsip penting tersebut beserta turunan praktisnya, tantangan berikutnya dalam penerapan standard audit bidang lingkungan adalah memverifikasi klaim perusahaan. Beberapa lembaga seperti FSC, MSC dan RSPO mensyarakatkan verifikasi yang terpercaya (credible) untuk menunjukkan kepada publik dan konsumennya bahwa produk yang dihasilkan dari suatu perusahaan didapat dari praktek-praktek yang lestari dan bertanggung-jawab. Karenanya, lembaga-lembaga seperti ini mensyaratkan transparansi bagi suatu perusahaan dalam melakukan auditnya.

Dari berbagai pengalaman di tingkat internasional, ada tiga kemungkinan mekanisme verifikasi, yaitu:

  1. First party verification (verifikasi pihak pertama): verifikasi ini dilakukan oleh pihak swasta sendiri. Pendekatan ini sangat luas digunakan dalam skema audit internal sebagai bagian dari pengelolaan perusahaan di dalam, dan seringkali merupakan sarat dari beberapa standard seperti ISO 9000 dan ISO 14001. Hanya saja, mekanisme ini dianggap tidak credible untuk melakukan klaim eksternal karena tiadanya konfirmasi independent yang dapat membenarkan klaim secara akurat.
  2. Second party verification (verifikasi pihak kedua): mekanisme ini dilakukan oleh seseorang/ suatu lembaga yang mempunyai hubungan dengan pihak swasta yang memberikan pekerjaan (biasanya hubungan ini semisal representatif pembeli dari produk pihak swasta yang pertama). Mekanisme verifikasi ini sangat penting dan berguna dan secara luas digunakan oleh sektor swasta terutama dalam memeriksa persyaratan-persyaratan seperti kualitas, keamanan, perlindungan lingkungan dan lain-lain. Pendekatan seperti ini berguna untuk hubungan business-to-business diantara dua lembaga di sektor swasta. Hanya saja, dikarenakan organisasi yang melakukan verifikasi tidak sepenuhnya independen, setiap klaim kepada publik akan hasil verifikasi ini tidak sepenuhnya credible.
  3. Third party verification (verifikasi pihak ketiga): mekanisme ini dilakukan oleh seseorang/lembaga yang dianggap independen dilihat dari pihak produsen maupun pembeli dan juga publik sehingga verifikasi yang dihasilkan dianggap yang paling credible untuk melakukan klaim terhadap publik. Permasalahannya adalah orang/lembaga ketiga yang diminta bantuan untuk melakukan verifikasi seringkali menimbulkan beban biaya yang tidak sedikit bagi perusahaan.

Agenda ke depan

Tantangan kedepan sangat signifikan terutama dalam merealisasikan CSR dan standard audit lingkungan, tetapi juga peluang yang ada cukup besar. Jika pelaku usaha memaparkan perspektif untuk mendukung pembangunan berkelanjutan secara lebih transparan, maka peluang untuk para pemangku kepentingan yang lain (pembeli, konsumen, bank-bank, masyarakat, dll) mendukung akan lebih besar. WWF, sebagai salah satu komponen masyarakat, akan selalu berkomitmen bekerjasama dengan pemangku kepentingan yang lain dalam upaya pencarian solusi terhadap permasalahan lingkungan yang ada.

Perihal penulis

Fitrian Ardiansyah mendapatkan gelar Master di bidang Environmental Management and Development dari the Australian National University, Australia, dengan subjek khusus Environmental Economics. Sebelumnya, dia memperoleh gelar Sarjana di bidang Teknik Lingkungan dari Institut Teknologi Bandung. Keahliannya mencakup bidang environmental and ecological economics, corporate engagement, pengelolaan sumberdaya alam lestari, dan penataan ruang berbasiskan keterkaitan ekosistem. Pengalamannya dengan komunitas NGO mencakup antara lain dengan Earth Island Institute. Saat ini dia bekerja untuk WWF-Indonesia sebagai Koordinator Program Restorasi dan Penanggulangan Ancaman Hutan. Selain itu, dia juga terlibat sebagai salah satu anggota Criteria Working Group dalam Roundtable on Sustainable Palm Oil, anggota kemitraan NGO di tingkat internasional yang mempunyai fokus pada program Nature and Poverty, dan anggota jaringan Business and Industry Unit, WWF-International.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.